Menjauh untuk menjaga. Kau tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan. Aku mulai mengira, barangkali analogi itu cuma pembenaran teoritis atas tragedi ketidakmampuan mencintai—dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa.Apa yang bisa diharapkan, dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak berdaya?Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya dengan kalimat ‘Amour Vincit Omnia’ ?Kalau saja matahari, memang mencintai bumi. Dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air matanya sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu majnun-lah ia, sebelum akhirnya mati dalam sebuah keterpurukan. Apakah selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas yang beda rupa selalu mencipta luka?Menjauh untuk menjaga...
*Matahari
Komentar
Posting Komentar