Langsung ke konten utama

"90% syuro, 10% ilmu"*

Bismillah,
***


Saya tidak ingin bertele-tele. Bahwa saya sangat menikmati kehidupan pasca lembaga. 
Saya bisa menimba ilmu lebih banyak, saya merasa menjadi pembelajar yang sebenarnya. Hidup saya lebih normal dengan pemenuhan hak ilmu yang selama ini saya zhalimi.

Sejenak berpikir, alangkah para aktivis dakwah kampus (ga semuanya sih, yang ga ngerasa ga usah tersinggung ya.. Hehe)  miskin ilmu tapi kaya syuro. Tak terbayangkan bila satu orang diberikan amanah lembaga yang doble triple, syuro mungkin udah kayak minum obat. Pagi syuro, trus kuliah, trus ada syuro, trus kuliah, trus nyuci, trus ada sms dadakan yang isinya taklimat mas'ul, trus pergi lagi. Di dalam dadanya gegap gempita "saya akan berdakwah Ya Allah".
Apalagi kalo jadi pimpinan besar di lembaga ato tokoh yang lumayan aktif di kampus, para senior sudah berbinar-binar siap-siap nembak  buat ditempatkan di amanah yg selanjutnya. Pake dalil kekekalan amanah: amanah tidak akan hilang, hanya berpindah dari satu amanah ke amanah yang lain.  Kalo ga mau, akan ada gencatan dari berbagai penjuru supaya siap, mau ga mau, ini demi dakwah, katanya.  InsyaaAllah, kalo soal kuliah, pasti Allah akan menolong. Sungguh prasangka yang sangat baik, tapi menurut saya agak menyedihkan.


Yang di atas cuma deskripsi ekstrim yang mungkin kenyataannya ga selebay itu, ato mungkin aja ada yang lebih lebay. Hmm..mungkin ga salah dengan pola syuro full day, tapi ada satu syarat: apakah hak ilmu kita sudah terpenuhi? Bukan ilmu kampus doang, ilmu yang dipakai buat berdakwah itu lho.. Tidak semua dari ADK berasal dari pesantren dengan bekal ilmu yang luar biasa, yang bahasa arabnya udah di luar kepala, yang hafalan qurannya ga cuma 3 juz dari belakang. Kalau memang bekal ilmu sudah tumpah ruah, maka syuro all day dan malamnya benar-benar maksimal buat ilmu&ibadah, okelah. Tetapi mirisnya betapa banyak ADK yang lebih memprioritaskan syuro dibanding kajian-kajian. Udah ngaret, sepi lagi. Ketika ditanya ttg fiqih cuma bisa senyum-senyum. Ketika diajak ngobrol tentang pemikiran Islam, cuma cengar-cengir. Ketika ditanya hafalan Quran, tiba-tiba langsung batuk-batuk. Ketika disuruh baca Al Quran, tajwidnya masih ala kadarnya. Ketika ditanya seminggu ikut berapa kali kajian, jawabnya cuma sekali itu pun sebenarnya liqo pekanan. Sibuk jadi panitia seminar, tapi ga ngerti isinya apaan. Ketika ditanya definisi syahadat dan bagaimana penjelasan dari segi bahasanya, baru nyadar kalo ga ngerti-ngerti amat. Ketika ditanya buku fiqh apa yang sudah tamat dibaca, ternyata jawabannya kitab Google. Ketika ditanya buku tafsir apa yang dipunyai sebagai pegangannya, jawabannya sama: tafsir Google. Ketika diminta kultum, kultum Google.  Alangkah hebatnya aktivis dakwah kampus, syuro lari sana-lari sini, permasalahannya seputar VMJ, tugas-tugas kuliah kurang jadi prioritas,  di kelas ngantuk dan ga dapet apa-apa, akhwat pulang malam-ikhwan ngebiarin aja, problematika lembaga biasanya miskin kader atau gontok2an sama rival, ngapalin Quran cuma di sisa-sisa tenaga padahal fesbukan selalu sempet, kajian kalo sempet doang padahal tau kalo dirinya miskin ilmu, belajar bahasa Arab baru level syukron-afwan-jazakallah-akhi-ukhti.  Sebenarnya kita mau mendakwahi apa sih, kawan-kawan? Udah lulus mau ngapain sih?

Udah ga musim lagi aktivis dakwah punya IP di bawah rata-rata, telat kuliah, bolos  karena alasan syuro.
Kalo gitu ga usah kuliah aja. Malu-maluin.  Jadilah aktivis dakwah saja, bukan aktivis dakwah kampus. Biar kuliah ga terzhalimi, lembaga jadi lebih fokus. Kecuali kalo ngampus tujuannya biar dapet ijazah, ya bolehlah. Hehe. Kayaknya saya fatalis banget ya? Saya hanya kasian dengan teman-teman ADK jika dari tahun ke tahun polanya sama. Menganggap syuro lebih mulia dibanding menuntut ilmu. Tidak adil dalam membagi pola waktunya, antara  ilmu dan lembaga dakwah kampusnya. Udah ilmu keprofesiannya ga bagus-bagus amat, IP standar, ilmu da'awiy nya juga minim. Yang paling sedih jika kuliah di fakultas ilmu sosial-humaniora tapi ga paham pemikiran Islam. Itu sama aja mau menyelam ke lautan tapi ga bisa berenang. Akhirnya kelelep.

Percayalah, Hasan al Banna berdakwah berdasar ilmu yang ga instan.

Udah ah,
Mungkin saya hanya iri dengan sekelompokan kawan-kawan saya yang begitu memurnikan aqidahnya dan tumpah ruah ilmunya.
Semoga kita bukan termasuk ADK yg instan.
Yang kuat karena lingkungan, namun rapuh ketika sendirian.



untuk kamu..
ya, tentu saja, untukku juga tulisan ini aku sadur :)

Repost :
http://secangkirmakna.blogspot.com/2011/03/90-syuro-10-ilmu.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023

 Bismillahirrahmanirrahim.. 2023, Alhamdulillah , sampai juga di tahun ini. Blog ini kujadikan sebagia salah satu prasasti yang mendokumentasikan catatan perjalanan, meskipun diapdet hanya 1 tahun sekali. Dari seorang gadis yang mencari footprint di hidupnya, hingga sekarang , wanita dengan 2 anak. yang Insya Allah bertambah 1 lagi jundullah.. alhamdulillah, kehamilan ke-3 di usia menginjak 5 bulan.Allah karuniakan Janin yang aktif. sjak 4 bulan awal sudah aktif berinteraksi. Mungkin karena kondisi emosional ibunya yang naik turun, di masa kehamilannya. Semoga bisa asik dan khusus bersama Ummi ya Nak... Ummi yang snagat tempramen, naik turun kondisi kehamilan sambil memebersamai 2 kaka-kakamu yang snagaaat aktif dan cerdas, Masya Allah. 2022 menjadi kondisi yang roller coaster, sejak kehadiran janin diperut , aku sempat vacuum 4 bulanna, tidak muncul dimana-mana. Tapi dunia kan tetap hiruk pikuk, aku bukan Megawati, yang ucapan dan jokesnya bikin geger, jadi dunia tentu ga akan merasa

Sebuah refleksi dari buku : All I need to know is what i learned in Kindegarten- chapter 1

 Bismillah, Buku pada judul yang ku sebut diatas didapatkan sesuai dengan rekomndasi dari Bpk Anies Baswedan pada live tiktok di masa kampanyenya. Aku as the one who take a part in this condition, nurturing a baby, a 7 y.o boy and a 5 y.o daughter been feel so relate.  Apalagi mengingat throw back momen, bahwa saat ta'aruf session di perjalanan menuju lepas lajangku, aku bersedia melepas atribut BUMN dan mau pulang ke akar rumput menjadi guru TPA. Sebuah hal yang tidak mengerti oleh gurunda yang menjadi penyambung aku dan suami di kala itu. Karena aku ingin, anak-anak TPA yang identk dengan sesuatu yang tidak berkelas mendapat akses global society. alhamdulillah, bener saja, harapanku sekarang.. membangun sebuah bisnis untuk anak usia dini.. Oks, back to the topic, let me start Memang menarik, mendidik value pada masa anak-anak sekarang adalah elemental. menjadi bagian untuk ambil peran dari human society Menyiapkan anak-anak kita untuk menjadi pewujud doa setiap hari, mutaqqiina i

Membuat"nya" tetap di koridor syari'at

Bismillah.. Pertanyaan ini diajukan ke murabbi SMP-ku waktu liqo di rumahnya “ustadzah, kenapa ga cepet nikah,?” Waktu itu ustadzah wajahnya pias dan dia menjawab “Untuk ustadzah, menikah itu sama sepert kita membangun peradaban bil, nanti dari rahim ustadzah lahir jundi-jundiyah yang membela agama Allah” , “ustadzah sempet dinasihatin orang tua karena ustadzah nolak bebrapa orang, tap ustadzah ga mau main-main untuk hal ini”dan waktu itu gue ngangguk puas. Jawaban murabbi gue itu emang majleb-jleb.. sejak itu gue  punya frame bahwa pernikahan adalah hal yang sacral.. Sama sakralnya dengan jaln mencapai sana.. :’( Sederhana memang, kata menjaga, tapi semacam ... Bayangkan, ketika harus selalu pura-pura lupa, pura-pura biasa, pura- pura ga denger kata sekitar, dan pura-pura baik-baik saja. Waktu: Menolak halus saat di jemput distasiun dengan mobilnya setelah capek perjalanan 10 jam St Senen- Jogjakarta Menjawab SMS dengan berkali-kali hapus-ketik, mencari kat